Di bulan Ramadhan, ketika pembayaran zakat diwajibkan kepada seluruh umat Muslim, banyak saudara-saudara kita yang mengikutsertakan pula pembayaran zakat profesi disamping zakat fitrah. Emangnya zakat profesi tuh ada? Zakat profesi, zakat jenis apa tuh ..? Definisi yang berkembang luas dimasyarakat, zakat profesi merupakan zakat yang wajib dikeluarkan oleh para profesional, dari gaji yang diterimanya setiap bulan. Entah itu ia berprofesi sebagai dokter, akuntan, konsultan, pengacara, pegawai, ataupun jenis profesi lainnya. Besarnya 2,5% dari total gaji yang diterima, tanpa ada haul (putaran satu tahun), dan nisab yang sama dengan zakat harta.
Kita semua sepakat bahwa zakat itu wajib hukumnya. Jadi apabila zakat profesi itu benar-benar ada, maka haram hukumnya bagi umat Muslim yang tidak menyisihkan 2,5% gajinya. Wah..wah.. kasihan juga ya buat orang-orang yang punya kebutuhan banyak, namun gaji yang mereka terima tidak mencukupi semua kebutuhannya. Sudah tak mampu memenuhi keperluan, masih pula harus diwajibkan berzakat. Apa benar hal yang seperti ini sesuai dengan prinsip ajaran Islam yang pro kepada orang-orang lemah.
Dalam semua ayat-ayat Al Quran maupun hadis dari para perawi terpilih, tak ada satupun perkataan yang menyatakan adanya jenis zakat profesi. Rasulullah SAW — yang diriwayatkan oleh Abu Dawud — sudah jelas-jelas berbicara bahwa : “Kamu tidak mempunyai kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul.” 20 dinar itu kalau mau dikonversikan, setara dengan 85 gram emas. Nah loohh, Rasul aja dah ngomong kalau yang kena zakat itu harta yang lebih dari 85 gram emas dan telah tertimbun minimal selama setahun. Tapi kok tiba-tiba di abad ke-14 hijriah ini, ujluk-ujluk ada jenis zakat baru yang namanya zakat profesi?
Sepengetahuan saya, Syeikh Yusuf Qardhowi-lah yang mempopulerkan adanya zakat profesi itu. Beliau mengkiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian. Dalam pikirannya, beliau melihat kok ada perbedaan antara profesi dokter, akuntan, konsultan, pengacara, dan pegawai dengan para petani dalam hal pembayaran zakat. Kok petani dikenakan zakat, sedangkan profesi yang lainnya tidak. Melalui pengamatan inilah beliau berinisiatif untuk mewajibkan pula jenis profesi-profesi yang lain untuk berzakat. Jadilah profesi-profesi di luar petani itu juga dikenakan zakat. Tapi yang anehnya, besaran zakat dan waktu pembayarannya tidak disamakan dengan zakat pertanian, yakni sebesar 5% dan dibayarkan setiap panen atau sekitar 2-3 bulan sekali. Syeikh Yusuf Qardhawi juga menguatkan pendapatnya itu melalui sikap Umar bin Abdul Azis yang memungut 2,5% dari gaji para karyawannya. Tapi mungkin Syeikh lupa, kalau zakat yang dipungut Umar telah melewati nisab dan telah pula memenuhi haulnya, yakni telah tertimbun selama satu tahun. Untuk sikapnya itu, Umar sebenarnya memungut zakat harta dari para karyawannya, bukan zakat profesi yang dianggap oleh Syeikh selama ini.
Sesungguhnya maksud Allah SWT menurunkan perintah zakat bukan hanya sebagai bentuk syukur umat Muslim atas harta kekayaan yang diperolehnya. Lebih dari itu, zakat bertujuan agar umat Muslim selalu mengembangkan harta kekayaan yang dimiliki dan melarang menimbunnya. Mengembangkan harta kekayaan yakni dengan mengusahakannya dalam dunia perniagaan. Dengan perniagaan maka akan tercipta lapangan pekerjaan, terjadi transaksi jual-beli, dan pada gilirannya akan memutar roda perekonomian umat. Melalui zakat pula umat Muslim dilarang keras untuk menimbun harta kekayaannya. Karena dengan menimbun, maka harta tak tergunakan secara optimal. Disini kita melihat zakat dalam definisi yang berbeda, yakni sebagai bentuk hukuman (baca: denda) bagi orang-orang yang menimbun harta dan tidak optimal dalam penggunaannya. Oleh sebab itu, sebelum sampai nisabnya maka seharusnyalah harta yang kita miliki diperputarkan untuk kepentingan masyarakat luas.
Kembali kepada hadis Rasul di atas dan pengertian normatif zakat yang artinya “berkembang”, maka perintah untuk mengeluarkan 2,5% dari gaji yang kita terima, tidaklah pernah diwajibkan dalam agama. Jika kita mengeluarkannya, maka itu bukanlah zakat yang dikategorikan sebagai ibadah wajib, melainkan hanya sedekah yang hukumnya sunnah.
Wallahualam bi shawab.
sumber dari: afandriadya.com
No comments:
Post a Comment