Nasihat seharusnya membuat kita kuat, bukan malah jatuh. Dengan nasihat itu harusnya kita saling menguatkan. Jika yang terjadi justru sebaliknya, bisa jadi ada yang salah dalam cara kita memberi nasihat ataupun dalam sikap kita menerima nasihat.
Sebuah tindakan yang tak dapat diterima adalah menasehati seseorang saat dia sedang marah, atau dalam kondisi dia tidak siap menerima, sehingga nasihat itu ditolaknya atau justru melakukan yang sebaliknya. Seorang sahabat yang mengirim SMS saat marah dengan banyak tanda seru dan ungkapan kecewa hanya membuat yang menerima sedih dan bahkan marah. Alasan jelas belum tahu, tapi sudah memvonis. Yang dicari simpati, tapi yang didapat caci maki. Sungguh, ukhuwah kita sedang diuji dengan harus banyak berlapang dada.
Saat sholat terawih, seorang jamaah masjid selalu berdiri di barisan paling depan. Namun sikapnya menjadi bahan kasak-kusuk jamaah yang lain karena ia sholat dengan memakai kaos dengan tulisan merk obat sakit kepala. Di tengah jamaah lain yang rapi, klimis dan wangi, ternyata ada seorang yang dianggap aneh dan tidak sopan karena ke masjid dengan memakai kaos. Apalagi dengan tulisan di punggung yang mengganggu kekhusukan ibadah sholat bagi jamaah di belakangnya.
Tidak mau terus-menerus hanya jadi bahan omongan, sang ustadz mengajak bicara selepas sholat terawih. “Assalamualaikum. Pak, Nyuwun pangapunten, mbok kalau ke masjid pakai baju yang terbagus, bukankah kita dianjurkan memakai baju terbagus yang kita punya? kaos yang bapak pakai itu membuat jamaah yang lain kurang nyaman.” Bapak berkaos yang bekerja sebagai buruh itupun menjawab, “pak ustadz, bukannya saya nggak mau pakai baju koko seperti jamaah yang lain. Tapi baju inilah, baju terbaik yang saya punya.” Astaqfirullahaladzim…. Sang ustadz terkejut. Malam itu juga sang ustadz mengajak jamaah lain bersama-sama untuk meminta maaf dan esok paginya memberikan beberapa potong baju koko baru. Dan mulai malam berikutnya, di barisan terdepan, bapak yang biasanya berkaos tadi telah rapi menggunakan baju pemberian jamaah yang lain.
Kita memang selalu punya pilihan dalam menyikapi sebuah berita. Utamakanlah khusnudzon, apalagi terhadap berita yang kita sendiri tidak mengalaminya atau mendengar langsung. Bisa jadi hanya info yang tidak lengkap membuat kesimpulan tidak akurat. Kita tidak tahu persis kesulitan apa yang sedang menimpa saudara kita sehingga sekian waktu menghilang. Kita sendiri tidak silaturrahim dan mencoba menghilangkan rasa tidak enak itu. Justru berdiam diri dan mengharap masalah selesai bersama berjalannya waktu. Memang iya, terkadang ada masalah yang selesai berjalannya waktu, tapi tidak semua masalah akan selesai dengan cara seperti ini.
Istri Thalhah bin Abdurrahman bin Auf ra, seorang lelaki terbaik di zamannya, berkata kepadanya, “Aku tidak melihat sekelompok kaum yang lebih sakit (jiwanya) dari teman-temanmu.” Thalhah berkata, “Diamlah! Mengapa kau katakana itu?”
“Aku melihat mereka, jika engkau dalam keadaan lapang mereka semua mendekat kepadamu. Tapi jika engkau sedang kesusahan, mereka meninggalkanmu,” jawab istrinya.
Tapi Thalhah justru berkata, “Demi Allah, ini adalah satu dari kemuliaan akhlak mereka, karena mereka mendatangi kita saat kita mampu memuliakan mereka, dan meninggalkan kita saat kita tidak mampu memenuhi hak-hak mereka.
Lihatlah, bagaimana Thalhah menafsirkan perilaku teman-temannya. Maka ia pun menasehati istrinya agar membetulkan prasangkanya, dna menilai semua itu dengan pandangan yang benar.
Menjadi pihak yang diingatkan memang tidak semudah menjadi pihak yang mengingatkan. Ada perasaan sakit hati bahkan cenderung menolak apabila seorang datang dan memberikan nasihat kepada kita dengan cara keras walau apa yang dikatakannya benar. Oleh karena itu, hendaknya kita dalam menasehati menggunakan cara terbaik, harapannya orang pun akan menggunakan cara terbaik pula dalam mengingatkan kesalahan kita.
“Saat engkau mengingatkan saudaramu sesama Muslim, berikanlah caramu yang terbaik dalam meluruskan kesalahan atau menunjukkan kebenaran” (Khalid bin Sa’ud Al Baulaihid)M. Natsir membuka pembahasannya dalam buku Fiqhud Dakwah dengan kutipan surat… “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia (Fushhilat: 34)… kalau ini bisa kita praktekkan dalam dakwah, sungguh luar biasa!
Islam adalah agama dakwah, Islam tidak memusuhi, tidak menindas unsur-unsur fitrah. Bila seorang mubalig diibaratkan dengan seorang petani, maka bidangnya adalah menabur benih, mengolah tanah, memberi pupuk dan air, menjaga supaya benih itu cukup mendapat udara dan sinar matahari, melindungi dari hama dan lain-lain. Untuk itu, ia harus mengetahui cara bercocok tanam, tahu sifat dan benih yang akan ditaburkan, bagaimana keadaan tanah,tempat persemaian, keadaan iklim dan pertukaran musim, apa pantangan-pantangan yang harus dihindari, apa macam hama yang suka mengganggu tanaman dan bagaimana memberantasnya .
Menyampaikan atau menjawab dengan baik itulah cirri khas bicara seorang muslim. Orang yang beriman tidak menusuk dan tidak melaknat dalam ucapannya. Rasulullah saw bersabda,
“Seorang mukmin yang sempurna bukanlah orang yang suka mencela, melaknat dan berkata kotor.” (HR. Ahmad)Rasa sayang kita kepada saudara tidak boleh membuat kita sungkan untuk mengingatkannya untuk melakukan kebaikan, atau meninggalkan perbuatan buruk. Hubungan kekerabatan tidak boleh menghalangi kita dalam melakukan kebaikan dengan menasehatinya. Kepada pemimpin yang terang-terangan berbuat dzolim pun harus punya sikap.
“Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah dengan hatinya (mengingkari dg hati, menunjukkan sikap tidak suka) dan itu adalah selemah – lemah iman.” (H.R. Muslim, 1/219, Maktabah Syâmilah)Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah bersabda:
Jihad yang paling utama adalah kata-kata yang adil (haq) didepan penguasa yang dzalim atau amir yang dzalim. [HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan An Nasa’i dg redaksi berbeda dg sanad shahih]Beberapa ulama memberikan catatan: Hanya saja dalam menyampaikan nasehat secara terang-terangan tetaplah tidak boleh mengungkap ‘aib dan kemaksiatan pribadi penguasa yang ia lakukan secara diam-diam, rahasia dan dia berusaha merahasiakannya. Kecuali, jika kemaksiatan tersebut membahayakan umat, maka diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini boleh.
Imam An-Nawawi pernah dipanggil oleh sulthan Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Beliau membaca fatwa tersebut dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Sulthan marah dan berkata: ”Kenapa !?”. Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Sulthan semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”. Para pembantu sulthan berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali”.
Apa yang disampaikan Imam Nawawi diatas bukanlah berdua saja dengan sulthan, namun sulthan sedang bersama para pembantunya, kalau seandainya Imam Nawawi memahami hukum menasehati penguasa didepan orang lain haram maka tentunya beliau akan mengajak sulthan untuk bicara 4 mata dan baru mengatakan “wahai sulthan, ini berisi kedzaliman karena bertentangan dengan ayat ini atau hadits ini…”.
Mengingatkan itu bukan melukai, bukan pula menyakiti. Apalagi membongkar dan menyebarkan keburukan. Maka dalam mengingatkan semangatnya adalah saling memperbaiki. Bukan saling menjatuhkan. Apalagi menyakiti. Maka apa yang kita sampaikan kepada seseorang hendaknya diniatkan hanya untuk menciptakan perubahan dalam dirinya. Tidak ada niat yang lain. Maka saling mengingatkan adalah sebuah usaha untuk menjangkau hati dan menyentuh jiwa.
sumber dari: zainurihanif.com
No comments:
Post a Comment