Bicara nasihat menasehati, tentu itu menjadi kebutuhan kita semua. Namun seringkali nasihat baik dan tulus tidak diterima sebagaimana mestinya. Terlalu banyak ego yang harus dipertahankan dan kepentingan di baliknya. sebagai teman, justru menjadi orang pertama yang harus menasehati jika tidak mau saudaranya tergelincir.
Menjadi aneh jika yang dinasehati justru marah-marah. Mario Teguh baru-baru ini memberi statemen yang bagus di Twitternya, namun justru mendapat banyak hujatan. kalimatnya kurang lebih begini :
Wanita yg pas u/ teman pesta,clubbing,brgadang smp pagi,chitchat yg snob,mroko,n kadang mabuk – tdk mungkin direncanakan jadi istri.Ironis jika justru banyak yang mengkritik beliau. Padahal esensinya benar. Kalau melihat secara jernih dan juga postingan berikutnya semua terangkai dengan indah. Toh begitu beliau tetap meminta maaf. setelah meminta maaf, banyak pula dukungan kepada beliau, lebih banyak daripada yang menghujat. Kata-kata menarik beliau kepada istri yang mempertanyakan permintaan maafnya adalah:
Benar atau salah, tetapi jika orang merasa tidak damai karena kebenaran yang kita sampaikan, kita harus meminta maaf.Dalam bukunya Anis Matta pernah mengungkapkan bahwa umat Islam sekarang butuh pembuktian. Ketika bicara dan protes mengenai standar ganda Amerika di Bosnia, yang berujung pembantaian muslim di Kosovo itu, umat Islam memprotes dan meminta AS dan sekutunya tidak menerapkan standar ganda itu dan menolong umat Islam disana. Dan mendesak pula supaya AS konsisten dengan statusnya sebagai “polisi dunia” dan “pembela HAM”. Alih-alih marah, dubes (pejabat Amerika) hanya menjawab, “aneh betul umat Islam, ia merasa saudaranya didzolimi, tapi ia menyuruh kami (orang lain) untuk mengirim pasukan dan mengorbankan darah putra-putri (tentara) terbaik kami disana. Mengapa bukan mereka sendiri yang berangkat dan membela saudaranya yang ada disana. Jangan hanya bisanya menyuruh orang lain.”
Kegundahan orang lain kepada kita, saat kita menyampaikan kebenaran, adalah perintah untuk memperbaiki cara dalam menyampaikan kebenaran.
Kita tidak boleh memaksakan cara dalam menyampaikan kebenaran, karena itu akan mengakibatkan orang yang membutuhkan perbaikan hidup itu justru mencemoohkan kebenaran.
Kita tidak boleh meminta maaf atas kebenaran yang kita sampaikan, tetapi kita harus meminta maaf jika kekurang-mampuan kita dalam menyampaikannya mengganggu kedamaian orang lain.
Kita tidak boleh menjadi penyampai kebenaran yang justru membuat orang menjauhi kebenaran.
Ya, patut kita renungkan sebelum banyak bicara dan menuntut orang lain. Tataplah diri sendiri dulu. Namun begitu, jangan pula menunggu sempurna untuk menasehati orang lain. Karena sampai kapan kita sempurna? tidak akan pernah bisa! Kita dalam berilmu harus menganut kaedah tidak pernah puas. Tidak pernah berlimu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar.
Jangan Keras dan Kasar
Seorang senior saya berulangkali mengisahkan cara memberi nasehat yang baik, jangan keras dan kasar. Nabi Musa saja diminta menyampaikannya dengan lembut. “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thahaa: 43-44). Jelas, saudara kita itu Insya Allah lebih baik dari Fir’uan yang mengaku Tuhan. Biarlah Alllah membalasnya sampai-sampai taubatnya tidak diterima walau Fir’aun berkata, “Amantu bi robbi Musa wa Haruna”. Nyawanya sudah di kerongkongan, maka tertolaklah taubatnya.
Imam Syafi’i menjelaskan uslub yang terbaik dalam menyampaikan nasehat:
“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku. Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang. Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya. Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini, maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”
sumber dari: zainurihanif.com
No comments:
Post a Comment