Pages

Sunday, 21 August 2011

marhaban ya ramadhan 2

sambungan dari artikel: maraban ya ramadhan
selamat membaca


d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
   miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
   menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
   makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
 
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak  ulama
tafsir.  Ada  yang  berpendapat  bahwa pada mulanya Allah Swt.
memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa
atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat
bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,
yakni  bagi  kedua  kelompok  ini  terdapat  dua  kemungkinan:
musafir dan orang  yang  merasa  berat  untuk  berpuasa,  maka
ketika  itu  dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,
yang pada hakikatnya  mampu  berpuasa,  tetapi  enggan  karena
kurang  sehat  dan  atau  dalam  perjalanan,  maka bagi mereka
diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
 
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan  mayoritas
ulama.  Mayoritas  memahami  penggalan  ini  berbicara tentang
orang-orang tua  atau  orang  yang  mempunyai  pekerjaan  yang
sangat  berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia
tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
dalam  kondisi  semacam  ini. mereka diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian  juga  halnya
terhadap  orang  yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan
diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam
pesan  penggalan  ayat  di atas adalah wanita-wanita hamil dan
atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
 
Wanita yang hamil  dan  menyusui  wajib  membayar  fidyah  dan
mengganti  puasanya  di  hari  lain,  seandainya  yang  mereka
khawatirkan adalah janin atau anaknya  yang  sedang  menyusui.
Tetapi  bila  yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka
berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus
membayar fidyah.
 
Fidyah  dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari
selama  ia  tidak  berpuasa.  Ada  yang  berpendapat  sebanyak
setengah  sha'  (gantang)  atau kurang lebih 3,125 gram gandum
atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu  mud
yakni   sekitar   lima   perenam  liter,  dan  ada  lagi  yang
mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang  berlaku
pada setiap masyarakat.
 
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
   nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan
   bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:
   187)
 
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam  hari
bulan  Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
hubungan seks  tidak  dibenarkan.  Termasuk  dalam  pengertian
hubungan  seks  adalah  "mengeluarkan  sperma" dengan cara apa
pun. Karena itu walaupun ayat ini tak  melarang  ciuman,  atau
pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa
hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak  dapat
menahan  diri,  karena  dapat  mengakibatkan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah  r.a.,  Nabi  Saw.  pernah  mencium
istrinya  saat  berpuasa.  Nah, bagi yang mencium atau apa pun
selain  berhubungan  seks,  kemudian  ternyata  "basah",  maka
puasanya  batal;  ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
mayoritas ulama tidak mewajibkan  yang  bersangkutan  membayar
kaffarat,  kecuali  jika  ia melakukan hubungan seks (di siang
hari), dan kaffaratnya dalam hal ini  berdasarkan  hadis  Nabi
adalah  berpuasa  dua  bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga,  maka
ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
 
Bagi  yang  melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus
mandi sebelum terbitnya fajar.  Ia  hanya  berkewajiban  mandi
sebelum  terbitnya  matahari  --paling tidak dalam batas waktu
yang memungkinkan ia shalat  subuh  dalam  keadaan  suci  pada
waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
 
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
   al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan
   dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
   benang hitam, yaitu fajar).
 
Ayat ini membolehkan seseorang untuk  makan  dan  minum  (juga
melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
 
Pada   zaman   Nabi,   beberapa   saat  sebelum  fajar,  Bilal
mengumandangkan azan, namun beliau  mengingatkan  bahwa  bukan
itu  yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di
atas.  Imsak  yang  diadakan  hanya  sebagai  peringatan   dan
persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
Namun  bila  dilakukan,  maka  dari  segi  hukum  masih  dapat
dipertanggungjawabkan  selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu  dingatkan,  bahwa   hendaknya   kita   jangan   terlalu
mengandalkan  azan,  karena  boleh jadi muazin mengumandangkan
azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu  sangat  beralasan  untuk  menghentikan aktivitas tersebut
saat imsak.

No comments:

Post a Comment