Saat saya mengisi
parenting, acapkali muncul keluhan dari para bunda tentang anaknya yang memasuki usia remaja ( ABG), yang enggan berkomunikasi dengan ayah bundanya, bahkan ada yang merasa anaknya tidak mau bicara kecuali minta uang. Tetapi jika dengan temannya mereka bisa berjam-jam asyik mengobrol. Mengapa bisa terjadi?
Kepada para bunda biasanya saya akan mengajak menengok beberapa tahun yang lalu saat anak-anak kita masih balita. Bagaimana komunikasi mereka? pernahkah kita merasa dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan :
- “Kenapa Allah menciptakan kita?”, “Siapa yang menciptakan Allah?”
- “Kenapa harus ada siang dan malam?, aku nggak suka malam, gelap”
- “dari mana datangnya adik bayi?”, “Kalau adik bayi dari perut wanita yang sudah dewasa, kenapa perut kakak nggak bersisi adek bayi juga?, kak sekarang kakak sudah besar”
- “Kenapa Ayah setiap hari harus bekerja”, “Cari uang”, “ ambil saja uang di ATM”dll
Syukur-syukur jika pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul saat kita sedang senggang dan sehat, bisa menjawab dengan sabar pertanyaan-pertanyaan yang terasa aneh tersebut. Namun acapkali yang muncul adalah rasa kesal dan meminta anak untuk berhenti bertanya. Wajarlah saat mereka tumbuh semakin besar yang mereka rasakan adalah pertanyaan-pertanyaan mereka mengganggu bahkan membuat marah ayah bundanya dan mereka memilih untuk diam.
Setiap orangtua harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan efektif dengan anak-anaknya. Tanpa kemampuan ini, yang akan terjadi bukannya sebuah penerimaan yang baik, melainkan kesalahpahaman akibat
miss communication, maksud yang kita ingin sampaikan malah tidak tersampaikan. Bahkan jika hal itu terjadi terus-menerus maka komunikasi orang tua dan anaknya akan macet. Komunikasi dengan anak, terutama dalam konteks mendidik, tidak hanya menyampaikan informasi. tetapi juga berperan dalam memotivasi, memodifikasi sikap, memacu kreatifitas, dan merangsang pemikiran. Lalu bagaimana caranya agar kita dapat memiliki kemampuan berkomunikasi yang efektif dengan anak-anak kita?
Mendengar Aktif
Langkah awal membangun komunikasi yang baik adalah dengan menjadi pendengar aktif. Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga dapat memahami sepenuhnya perasaan dan pikiran anak. Pada saat anak mencoba mengatakan sesuatu, berilah perhatian sepenuhnya pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengalihkan perhatian sejenak dari sinetron yang sedang ditonton, majalah, koran, atau dari pekerjaan yang sedang dihadapi. Tataplah langsung tatap matanya sambil memberi kesan bahwa kita benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita. Banyangkan saat anak bertanya tentang hal-hal yang kita anggap aneh di atas, saat itu kita sedang mendapat peluang untuk menanamkan aqidah kepada anak-anak kita. Saat mereka bertanya pintu ilmu terbuka lebar untuk kita isi denagn berbagai informasi yang akan memperkuat aqliyah mereka dengan memperkaya tsaqofah Islamnya.
Saat mendengar aktif juga mengharuskan orang tua untuk memahami perasaan anak. Penting bagi anak untuk dapat memahami dan mengungkapkan perasaannya. Saat berkomunikasi sebaiknya orang tua menggali perasaan anak misal anak mengadu “Bunda tadi aku dipukul teman” bertanya “bagaimana perasaan adek, waktu itu….”; jauh lebih baik ketimbang menjatuhkan penilaian atas diri mereka “ah, kamu pasti takut! Kamu kan penakut….” atau “ah, paling kamu menangis…kan kamu cengeng” atau “kamu nggak menangis, kan? Anak mama/papa pemberani, tentu tidak pernah menangis!”.
Penilaian tersebut bisa membuat anak frustrasi, bahkan anak akan menarik diri untuk tidak lebih lanjut menceritakan perasaan yang sebenarnya, karena orangtua sudah punya anggapan tertentu. Misal, anak itu sebenarnya takut ketika berhadapan dengan teman sekolah yang lebih besar badannya dan suka mengganggunya, namun urung bercerita karena orang tua sudah memberi label pada sang anak sebagai “anak mama-papa pasti pemberani”. Menceritakan perasaan dan kejadian yang sesungguhnya, hanya akan membuat dirinya dimarahi atau malu karena dianggap lemah. Kondisi seperti inilah yang umumnya membuat macetnya komunikasi dengan anak.
Ketrampilan mendengar aktif orang tua dapat membuat anak merasa diperhatikan dan dihargai. sehingga mengakrabkan hubungan orang tua dan anak. Hubungan
mutual trust, ini membuat anak merasa lebih nyaman berada bersama orangtua, lebih memilih ‘curhat’ dengan orangtua. Manfaat lain mendengar aktif memberi pengalaman berkomunikasi yang menyenangkan pada anak, anak terlatih dalam mengenali emosi, tumbuh keyakinan dan
sense of control terhadap perasaannya sendiri (lebih mudah mengendalikan sesuatu yang telah diketahui). Misal, jika anak sudah tahu bagaimana rasanya marah, sedih, kecewa, takut, kesepian, dsb. Maka akan lebih mudah bagi orangtua memberikan alternatif-alternatif cara menghadapi dan menyelesaikannya. Saat inilah nafsiyah anak dilatih untuk menyelesaikan masalah sesuai aqidah Islam. Misal “ Mengapa kakak memukul teman?” “Karena aku dipukul” “Ooo kakak marah” “iya” “ pantas kakak marah karena kakak dipukul teman” “Tapi kalau marah anak sholeh tidak harus balas memukul, kakak bisa bisa bersabar karena Allah sayang pada anak yang sabar, kakak bilang saja aku nggak suka dipukul atau melaporkan pada ibu guru”.
Pesan Diri
Apa yang kita ungkapkan jika menghadapi situasi rumah berantakan atau anak-anak berteriak-teriak? Biasanya kita akan mengatakan :” Ini rumah atau kapal pecah?” “Siapa yang berantakin rumah?” “ Jangan teriak-teriak, berisik” ‘Ada apa sih adek teriak-teriak bunda tidak tuli”. Gaya komunikasi tersebut dinamakan pesan kamu. hasilnya anak merasakan disalahkan atau direndahkan, akibatnya anak tidak mau bekerja sama bahkan melawan.
Ada cara komunikasi dimana anak tidak merasa disalahkan atau direndahkan, bahkan kita bisa berbagi perasaan dengan anak. Misal : “Bunda tidak suka rumah berantakan karena Allah menyukai keindahan dan bunda ingin keluarga kita disayang Allah” “Kalau adek berteriak-teriak bunda jadi pusing dan merasa tidak dihormati, bukankah Nabi menyuruh anak menghormati bundanya?”. Gaya komunikasi itulah yang disebut pesan diri/pesan aku. Jika orang tua terbiasa menggunakan pesan diri akan membantu anak melihat masalah yang ditimbulkannya, menghargai perasaan orang lain dan berani mengungkapkan perasaannya.
Mendengarkan adalah kunci hubungan orangtua-anak, yang sangat bermanfaat untuk mengembangkan aqliyah dan nafsiyah anak. Juga menambah tsaqofah pada anak sedini mungkin. Namun sebaliknya, jika kata-kata yang diucapkan anak hanya sekedar ‘terdengar’ di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin, apakah kita sebagai orangtua, tega mengorbankan kualitas perkembangan aqliyah, nafsiyah dan pengayaan tsaqofah anak kita demi kesenangan sesaat (film yang menarik, obrolan gossip yang asik, berita yang sedang dibaca, dan lain sebagainya). Inilah saatnya kita sebagai orangtua merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari, apakah kita sudah lebih sering mendengarkan anak. Ataukah, cerita mereka hanya terdengar sayup-sayup oleh kita.
sumber dari: belajarnulisideologis.wordpress.com