Surat seorang ayah untuk putrinya yang tewas ditembak di Mesir membuat PM Turki Recep Tayyip Erdogan menangis. Ayah itu adalah Mohamed el-Beltaji, petinggi Ikhwanul Muslimin, yang kehilangan putrinya, Asma Beltaji, 17 tahun.
Asma jadi korban kekejaman penembak jitu militer Mesir dalam membubarkan demonstrasi Ikhwanul Muslimin, siang hari, 14 Agustus lalu. Saat itu dia bersama ibunya tengah membantu para demonstran yang terluka di Kairo.
Ini terjemahan dari isi surat yang ditulis Beltaji tersebut:
Putriku tercinta dan seorang guru yang terhormat, Asma al-Berltaji. Aku tak ingin mengucapkan selama tinggal padamu. Aku ingin mengatakan, suatu saat nanti kita akan berjumpa lagi.
Kau telah hidup dengan kepala yang mendongak, memberontak terhadap tirani dan belenggu dan mencintai kebebasan. Kau telah hidup sebagai pencari ketenangan dari cakrawala baru untuk membangun negeri ini menjadi tempat yang tepat untuk masyarakat.
Kau tidak pernah menyibukkan dirimu dengan hal-hal yang menyibukkan orang-orang seusiamu. Walaupun pendidikan tradisional tidak mampu memenuhi aspirasi dan minatmu, kau selalu menjadi juara di kelas.
Aku tidak pernah mendapat cukup waktu berharga untuk bersamamu di kehidupan yang singkat ini. Terutama karena waktu yang aku miliki tidak memungkinkan bersama denganmu.
Putriku tercinta dan seorang guru yang terhormat, Asma al-Berltaji. Aku tak ingin mengucapkan selama tinggal padamu. Aku ingin mengatakan, suatu saat nanti kita akan berjumpa lagi.
Kau telah hidup dengan kepala yang mendongak, memberontak terhadap tirani dan belenggu dan mencintai kebebasan. Kau telah hidup sebagai pencari ketenangan dari cakrawala baru untuk membangun negeri ini menjadi tempat yang tepat untuk masyarakat.
Kau tidak pernah menyibukkan dirimu dengan hal-hal yang menyibukkan orang-orang seusiamu. Walaupun pendidikan tradisional tidak mampu memenuhi aspirasi dan minatmu, kau selalu menjadi juara di kelas.
Aku tidak pernah mendapat cukup waktu berharga untuk bersamamu di kehidupan yang singkat ini. Terutama karena waktu yang aku miliki tidak memungkinkan bersama denganmu.
Terakhir kali kita duduk bersama di alun-alun Rabiah al Adawiyah, kau berkata Bahkan ketika bersama kami, kau selalu sibuk' dan aku katakan padamu 'Sepertinya hidup ini tidak akan pernah cukup untuk kita menemani satu sama lain, jadi aku berdoa pada Allah semoga kita akan selalu bersama di surga nanti.'
Dua hari sebelum kau dibunuh, aku melihatmu di mimpiku, mengenakan pakaian pengantin warna putih dan kau sangat cantik. Ketika kau dibaringkan di sisiku, aku bertanya "apakah ini malam pengantinmu?" Kau menjawab, "Ini siang hari, bukan malam".
Ketika berita kau dibunuh pada malam Rabu itu datang, aku mengerti apa maksudmu dalam mimpi itu dan aku tahu Allah telah menerima jiwamu sebagai seorang syahidah. Kau memperkuat keyakinanku bahwa kita berada pada kebenaran dan musuh kita di sisi yang salah.
Sangat menyakitkanku tidak bisa hadir mengucapkan perpisahan terakhir dan melihatmu untuk yang terakhir kalinya; tidak mencium keningmu; dan tidak mengimami shalat jenazahmu.
Aku bersumpah demi Allah, sayangku, aku tidak takut kehilangan nyawa atau di penjara dengan tidak adil, tapi aku ingin membawa pesan yang engkau rela mati karenanya, yaitu untuk menuntaskan revolusi, untuk menang, dan meraih tujuan.
Jiwamu dicabut dengan kepalamu mendongak tinggi melawan tirani. Peluru pengkhianat itu mengenai dadamu. Dengan niat yang tulus dan jiwa yang suci. Aku yakin kau jujur pada Allah dan Dia memilihmu di antara kami dan memuliakanmu dengan pengorbanan.
Akhirnya, putriku tercinta dan seorang guru yang terhormat:
Aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal, tapi sampai jumpa. Kita akan segera bertemu dengan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya di Surga, tempat dimana keinginan kita untuk menghabiskan waktu satu sama lain dan bersama orang-orang tercinta kita akan dikabulkan.
Dua hari sebelum kau dibunuh, aku melihatmu di mimpiku, mengenakan pakaian pengantin warna putih dan kau sangat cantik. Ketika kau dibaringkan di sisiku, aku bertanya "apakah ini malam pengantinmu?" Kau menjawab, "Ini siang hari, bukan malam".
Ketika berita kau dibunuh pada malam Rabu itu datang, aku mengerti apa maksudmu dalam mimpi itu dan aku tahu Allah telah menerima jiwamu sebagai seorang syahidah. Kau memperkuat keyakinanku bahwa kita berada pada kebenaran dan musuh kita di sisi yang salah.
Sangat menyakitkanku tidak bisa hadir mengucapkan perpisahan terakhir dan melihatmu untuk yang terakhir kalinya; tidak mencium keningmu; dan tidak mengimami shalat jenazahmu.
Aku bersumpah demi Allah, sayangku, aku tidak takut kehilangan nyawa atau di penjara dengan tidak adil, tapi aku ingin membawa pesan yang engkau rela mati karenanya, yaitu untuk menuntaskan revolusi, untuk menang, dan meraih tujuan.
Jiwamu dicabut dengan kepalamu mendongak tinggi melawan tirani. Peluru pengkhianat itu mengenai dadamu. Dengan niat yang tulus dan jiwa yang suci. Aku yakin kau jujur pada Allah dan Dia memilihmu di antara kami dan memuliakanmu dengan pengorbanan.
Akhirnya, putriku tercinta dan seorang guru yang terhormat:
Aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal, tapi sampai jumpa. Kita akan segera bertemu dengan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya di Surga, tempat dimana keinginan kita untuk menghabiskan waktu satu sama lain dan bersama orang-orang tercinta kita akan dikabulkan.
sumber dari: us.dunia.news.viva.co.id
No comments:
Post a Comment