Pages

Friday, 2 August 2013

Kartu Lebaran





Kartu Lebaran bukan hanya sarana mengucapkan “Selamat Idul Fitri” tapi juga bermuatan politis.

KARTU ucapan di hari Lebaran tampaknya tinggal sejarah. Kartu elektronik via internet dan pesan singkat sudah menggantikannya dengan cara yang lebih cepat dan murah. Berkirim kartu lebaran kini menjadi kebiasaan yang dilakukan segelintir orang. Kebiasaan mengirim kartu ucapan sudah dikenal sekira 4.000 tahun lalu. Bangsa Mesir mengenal “scarabs”, batu-batuan berharga berbentuk kumbang. Bangsa Romawi saling bertukar simbol “kesehatan” maupun “kemauan baik”, dalam bentuk buah-buahan kering dan madu, maupun lempung bakar.

 Kartu ucapan dipelopori oleh John Calcott Horsley, seniman London, yang pada 1843 membuat kartu Natal pertama. Di dalam kartunya tertulis ucapan yang terkenal hingga kini: “A Merry Christmas and A Happy New Year to You”. Tapi, baru sejak 1880, kartu Natal menjadi bisnis besar, yang memberi peluang bagi seniman, penulis, pelukis, dan pemotret. Berkirim kartu ucapan kemudian menjadi kebiasaan yang menyebar ke seluruh dunia. Kebiasaan ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan kartu pos, yang merupakan ide Dr Heinrich von Stephan di Jerman pada 1865 –meski akhirnya Dr Emmanuel Hermann dari Akademi Militer Wiener-Neustadt yang diakui sebagai pencetusnya. Belanda mulai mengadopsi *briefkaart *(kartu pos) tanpa gambar pada 1871 yang segera disusul negeri jajahannya, Hindia Belanda. Pada 1893 muncul kartu pos bergambar pertama di Batavia. Pemerintah tak mengizinkan swasta mencetak kartu pos bergambar, namun akhirnya larangan itu dicabut.

Beberapa percetakan besar dan pengusaha di beberapa kota pun kemudian memproduksi kartu pos; umumnya bergambar keeksotisan alam Hindia Belanda. Kartu-kartu pos ini biasanya dipakai untuk menyampaikan pesan singkat, juga ucapan selamat. Pada 1898, misalnya, firma H. Bunning mengeluarkan seri kartu pos Yogyakarta, Prambanan dan Borobudur. Salah satu kartu pos bergambar patung Buddha di Borobudur. Leo Haks dan Steven Wachlin dalam *Indonesia: 500 Early Postcards* mengisahkan, ada yang mengirim kartu itu ke Belanda sebagai kartu ucapan tahun baru. Ketika tiba di sana, petugas pos Rotterdam menganggap gambar Buddha yang telanjang “kurang sopan” untuk disampaikan kepada si penerima. Maka sang Buddha diberikan “pakaian” dahulu, kartu pos itu lalu dimasukkan dalam amplop. Si penerima terpaksa harus membayar biaya ekstra 7,5 sen.

 Bagaimana dengan kartu Lebaran? Sulit menentukan kapan umat Islam mulai menggunakan kartu Lebaran. Sebagian umat Islam menganggap kartu Lebaran bukan tradisi Islam, apalagi jika kartu itu dikirim oleh non-Muslim, sehingga dilarang. Yang membolehkan menganggap bahwa tujuan kartu lebaran adalah untuk silaturahmi dengan sesama Muslim yang tak bisa dikunjungi.

Di sisi lain, tradisi di sejumlah daerah di Indonesia tak mendukung popularitas kartu Lebaran. Lebaran adalah saat yang lebih mudah mengunjungi dan meminta maaf kepada yang lebih tua; yang lebih rendah pangkatnya mengunjungi yang lebih tinggi. Meski hanya populer di kalangan terbatas, penggunaan kartu Lebaran juga dikenal di Hindia Belanda. Pada 1918, sebuah kartu Lebaran dibuat oleh Singer Sewing Machine Co. Isinya, selain ucapan selamat Lebaran, juga peringatan kepada para peminjam mesin jahit agar menyimpan uang untuk membayar sewa mesin jahit bulan Juli dan Agustus 1918. Sementara itu, menurut sejarawan JJ Rizal dalam “Menemukan Makna Tradisi Lebaran”, *Tempo*, 5 November 2006, kartu Lebaran kali pertama beredar pada 1927. Dua tahun kemudian, ketika krisis melanda dunia, Idul Fitri dijadikan momentum politis. “Sebagai simbolisasi harapan-harapan itu, rakyat mengganti kartu Lebaran yang beredar pertama kali tahun 1927 dengan gambar orang berperahu sambil mengibarkan bendera Belanda dengan desain baru yang lebih sesuai dengan semangat zaman,” tulis pengelola Penerbit Komunitas Bambu itu.

 Di masa pendudukan Jepang, kartu Lebaran juga dipakai penguasa militer untuk kepentingan politis, yakni merangkul umat Islam demi tujuan perangnya. Tak heran jika penguasa –meski awalnya melakukan pembatasan karena adanya pembenahan administrasi di masa transisi– memberikan kebebasan kepada mayarakat untuk saling mengirim karcis –sebutan untuk kartu saat itu– Lebaran. “Mulai sekarang telah diperkenankan oleh Djawatan Pos untuk mengirimkan kartu Lebaran dengan tak memakan batas. Pengiriman dengan menerangkan alamat yang lengkap di dalam amplop. Adapun ongkos pengiriman seperti biasa, dua sen,” tulis *Tjahaja*, 18 September 1943. Bahkan, melalui media, penguasa militer mengumumkan tatacara pengiriman kartu lebaran.


sumber dari: jojoinformation.wordpress.com

No comments:

Post a Comment