Pages

Friday 19 July 2013

Perbuatan Bid’ah pada permulaan bulan Romadhoon







Pertama, kebanyakan kaum muslimin menggunakan Hisab. Dan itu adalah Bid’ah menurut para ‘Ulama. Karena yang disunnahkan adalah sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Shoumlah kalian apabila kalian melihat bulan, dan berbukalah kalian bila kalian melihat bulan. Jika terhalang penglihatan kalian melihat bulan, sempurnakan lah bulan Sya’ban tigapuluh hari. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)

Itulah tehnik yang dijelaskan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Begitu jelasnya,kenapa masih percaya dengan Hisab?
Seakurat apa pun matematik, kalaupun itu betul penghitungannya, itu tetap salah. Karena orang tersebut menjalankan shoum semata-mata melandaskan karena Hisab.

Sedangkan orang yang menjalankan shoum karena Ru’yah, dasarnya adalah ittiba’ (mengikuti) Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Sehingga  orang yang semata-mata hanya berdasarkan Hisab, itu adalah Bid’ah. Maka apa pun yang kita perbuat, hendaknya adalah berdasarkan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Walaupun para ‘Ulama dalam fatwa-fatwanya, termasuk Hai’at Kibaar Al ‘Ulama dalam koleksi fatwanya (Majmuu’ Fataawa), pada akhirnya tetap bersikap toleran. Dan menyarankan untuk tidak bertengkar dan tidak berselisih diantara kaum muslimiin.

Bagi mereka yang tetap bersikukuh untuk mengatakan bahwa ru’yahnya di Saudi Arabia, dan yang lainnya lagi mengatakan bahwa ru’yahnya Ahlul Balad, setelah para ulama menyepakati sesuai dengan Sunnah yang berdasarkan ru’yah,  pada akhirnya merekapun berbeda pendapat.   Pertama mereka sepakat bahwa Hisab adalah Bid’ah dan Sunnahnya adalah Ru’yah, tetapi setelah sampai kepada ru’yah, para ‘Ulama pun berbeda pendapat.

Beda pendapatnya adalah apakah: “Ru’yahnya itu satu untuk semua ataukah setiap negeri (Balad) mempunyai hak untuk ru’yah masing-masing?

Namun dua pendapat itu tetap dihargai dan tidak perlu diperuncingkan. Boleh dikaji dan ada kitabnya.
Pada waktu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم masih hidup, terjadinya perselisihan antara Abu Quraib dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما adalah antara Palestin dan Madinah. Bila diukur jarak antara kedua tempat itu kira-kira 1000 Km (kalau di Indonesia itu kira-kira jaraknya antara Jakarta sampai Surabaya).

Maka bila Indonesia sudah dikategorikan satu negeri, lalu sudah diputuskan negeri Indonesia, maka berarti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Kalau itu dijadikan suatu keputusan.  Tetapi bila misalnya ada suatu keputusan bahwa walaupun Indonesia itu satu negeri, tetapi ru’yahnya bisa berbeda, sebetulnya menurut hasil ijtihad para ‘Ulama diatas, masih bisa berbeda lagi.

Maka kembali kepada kebijakan, kalau mau diputuskan semua balad (negeri), termasuk Imaam Syafi’iy mengatakan batasan suatu negeri itu berapa kilometer?  Itu pun menjadi suatu permasalahan yang panjang. Oleh karena itu, kalau saja nanti ada keputusan pemerintah bahwa telah terlihat (berdasarkan ru’yah), maka itu boleh diikuti.

Tetapi kalau keputusan pemerintahnya hanya berdasarkan Hisab semata-mata, itu tetap berhak untuk tidak dipatuhi, karena itu bukan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Kedua, kekeliruan dan termasuk yang menjadikan Bid’ah pada bulan Romadhoon pada kaum muslimiin di Indonesia adalah: Ibadah musiman.

Dianggapnya, bahwa bulan Romadhoon itu musim ibadah, sehingga masjid dimana-mana ramai. Selesai sholat Taroowih, semua masjid speakernya menyala, disana mengaji, disini mengaji, dimana-mana mengaji.
Padahal yang benar adalah: lakukan mengaji tetapi tanpa speaker. Karena mengaji tanpa speaker adalah lebih mendekati Sunnah, lebih mendekati ikhlas, dan tidak membuat orang menjadi berdosa.

Kalau pun ingin mengadakan Taddarus, membaca Al Qur’an, jangan sampai dikeluarkan suaranya melalui speaker. Karena orang lain di luar tidak mendengarkannya, sementara aturan membaca Al Qur’an itu harus lah untuk di dengar. Orang yang tidak mendengarkan lalu akan menjadi berdosa.

Firman Allooh سبحانه وتعالى: “Jika kalian ingin mendapatkan kasih-sayang Allooh, maka dengarkan dan perhatikan lah bacaan Al Qur’an”.


Orang yang mendengar bacaan Al Qur’an tetapi tidak memperhatikan, tetap mengobrol dan sebagainya, maka ia menjadi berdosa. Sehingga yang benar adalah, ramaikan lah masjid tetapi terbatas di dalam masjid saja.

Ketiga, ada sebagian orang terutama anak-anak muda, menjadikan momen-momen sesudah sahuur menjadi waktu untuk berpacaran. Berjalan-jalan berdua-dua lain jenis, bukan mahromnya. Mereka shaum tetapi maksiat juga.

Yang demikian itu harus sering diingatkan oleh para da’i  atau ustadz di masjid. Karena mereka pada hakekatnya jahil, tidak tahu tentang aturan agama, dianggapnya itu boleh-boleh saja, berpacaran sebelum menikah dan sebagainya. Padahal itu adalah zina, tidak sesuai dengan syari’at Allooh سبحانه وتعالى.

Keempat, ada suatu keyakinan bahwa Romadhoon dibagi tiga, seperti disampaikan diatas, yang menurut Syeikh Nashiraddin Al Albaany رحمه الله sudah termasuk kategori Bid’ah, yakni sepertiga pertama bulan Romadhoon kita akan diberikan rahmat (dikasihi) oleh Allooh سبحانه وتعالى, sepertiga mendapatkan ampunan (maghfiroh) dari Allooh سبحانه وتعالى dan sepertiga yang terakhir adalah pembebasan dari api neraka. Meyakini anggapan yang isinya demikian itu termasuk Bid’ah.

Kelima, bila sampai pertengahan bulan Romadhoon lalu ada yang disebut Nuzuulul Qur’an. Katanya, tanggal 17 Romadhoon adalah Nuzuulul Qur’an.

Peringatan Nuzuulul Qur’an tidak seyogyanya selalu pada pertengahan atau 17 Romadhoon.  Karena dalam hal ini para ‘Ulama berselisih pendapat tentang kapan tepatnya Nuzuulul Qur’an. Dan tidak ada kesepakatan.

Berarti, melakukan peringatan Nuzuulul Qur’an, pertama-tama secara kronologis, itu tidak ada kesepakatan ‘Ulama, kedua secara syar’ie juga tidak ada ajarannya.
Kalau memang ada ajarannya, tentulah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dari sejak dulu sudah menggalakkan bahwa 17 Romadhoon supaya diadakan peringatan Nuzuulul Qur’an. Tetapi tidak pernah ada ajaran dan contoh yang demikian itu dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Maka itu adalah bagian dari Bid’ah.

Keenam, penyimpangan dalam bulan Ramadhan adalah sibuk dan repot menghadapi ‘Iedul Fithri. Termasuk harga-harga barang menjadi naik, yang akan membuat susah bagi orang miskin. Bagi orang kaya, kenaikan harga itu tidak menjadi masalah, tetapi bagi kaum miskin mereka akan menjadi pusing. Dan itu bisa menjadikan kaum miskin yang muslim menjadi jauh dari taat kepada Allooh سبحانه وتعالى karena mereka menjadi kesulitan.

Padahal semestinya dalam bulan Romadhoon, semuanya itu dipermudah. Tetapi karena semua itu adalah gejala yang sudah mengglobal. Itu menjadikan masalah, karena setiap bulan Romadhoon kesannya harga-harga serba mahal, pakaian harus baru.
Image semacam itu seharusnya tidak usah muncul karena itu tidak lah berdasarkan ibadah kepada Allooh سبحانه وتعالى.

Ketujuh, pada malam ‘Iedul Fithri melakukan Takbir keliling, itu tidak ada ajarannya. Bahkan menjadi semacam trendy, sampai-sampai dikeluarkan uang untuk bensin, dibuang waktu untuk keliling kota dan biaya-biaya lain dikeluarkan, yang semuanya itu tidak ada ajarannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Kedelapan, pasca Romadhoon lalu mengadakan Halaal Bi Halaal.
Sampai sekarang tidak tahu dari mana dan siapa yang mencetuskan istilah Halaal Bi Halaal itu. Padahal yang benar tidak ada acara apapun setelah ‘Iedul Fithri selesai.
Setelah sholat ‘Iedul Fithri tidak ada apa-apa lagi kecuali disunnahkan untuk shoum sunnah selama enam hari.

Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barang siapa yang shoum Romadhoon, lalu diikuti dengan shoum enam hari di bulan Syawwal, maka orang itu seperti shoum seumur hidup.”  (Hadits Riwayat Imaam Muslim dari Abu Ayyuub Al Anshoory رضي الله عنه)

Demikianlah, bid’ah-bid’ah itu kita semua sering melihat dan mengalaminya, tetapi semuanya tidak ada dalilnya, tidak ada dasarnya dan tidak ada kebenarannya untuk dikaitkan sebagai syi’ar Islam. Karena syi’ar Islam harus berlandaskan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.


sumber dari: ustadzrofii.wordpress.com

No comments:

Post a Comment