Pages

Sunday 16 June 2013

Ketika Sebatas Perantauan






“Ketika itu Malam tampak begitu suram, awan-awan enggan menampakkan indahnya kilauan bintang-bintang. Tetes demi tetes tangisan langit telah jatuh ke bumi, menyirami jiwa-jiwa yang kering dan menghidupi jiwa-jiwa yang mati. Suara muadzin pun mulai bersahut-sahutan di seluruh penjuru, mengajak seluruh jiwa untuk segera bercakap-cakap dengan penguasa langit dan bumi. Aku pun yang tengah duduk menghayati baris-demi baris harus rela menghentikan semuanya untuk segera menunaikan sholat Maghrib.

Bergegas kulangkahkan kaki ini menuju mesjid darul fathim. Pemandangan tak seperti biasanya, sandal-sandal telah bertumpuk saling tindih-menindih, kendaraan roda dua banyak terparkir Tak biasanya. Hati ini pun mulai berbicara, apakah itu firasat hati. “Ah bukan” aku pun sambil menghibur diri, menanti jawaban bahwa seakan ada pengajian atau lainnya. Ternyata hati kecil ini berkata benar, sebuah keranda berkain hijau berlafazh “Laa illaaha illallah” telah terpakir di dekat pintu masuk. Hati ini mulai berdegup kecang, apakah ini pertanda bahwa aku masih cinta dunia. Aku pun mulai mengangkat kedua tangan, memulai takbiratul ihram untuk mengikuti gerakan imam.”

Malam ini saya mendapatkan pelajaran yang luar biasa. Ketika melangkahkan kaki ke mesjid, namun melihat hal yang tak biasa, seakan menimbulkan pertanyaan dan jawaban tersendiri. Ternyata salah seorang hamba telah dipanggil kembali menghadap tuhannya, dan keranda bertuliskan “Laa illaaha illallah” pun telah di letakkan tepat berada di dekat pintu mesjid. Memang  Allah sedang menampakkan kepada semua manusia bahwa suatu saat nanti kita akan menyusulnya.

Rumah mewah dan mobil ber-AC, semua akan kita tinggalkan, dan hanya itulah yang akan menjadi kendaraan terkahir kita. Siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, pastinya kematian akan datang, dan malam ini juga mengajarkan kita, bahwa bumi ini hanya tempat persinggahan, yang namanya singgah pastilah tidak lama, kalau kelamaan ntar diusir sama yang punya.:).

Saya pun kembali merenung, kalaulah bumi ini hanya tempat persinggahan, berarti Layaknya seorang yang bertamu ke suatu tempat, maka tamu yang baik pastilah tidak akan berlama-lama disana, merasa tidak pernah betah, dan selalu terbayang-bayang dengan rumah yang sesungguhnya. Lantas saya pun berfikir, kalaulah dunia ini hanya sementara, tapi mengapa banyak kita seakan lupa, terlena, terpedaya dengan indahnya nikmat dunia yang ditampilkan kepada kita, padahal Allah menyiapkan seluruh rezki untuk semua makhluk di muka bumi sebagai bekal selama persinggahan untuk kembali ke kampung halaman, bukan hanya bengong, tidur-tiduran, atau malah tersesat di tempat perantauan, dan menikmati persinggahan seakan tak mau pulang.

Jantung pun berdegup kencang, seakan tidak ingin melihat keranda tersebut. Apakah ini pertanda bahwa saya masih sangat cinta dunia, sehingga merasa ketakutan dan tidak siap jikalau maut menjemput. Padahal maut adalah rahasia, tidak ada satu makhluk yang mengetahuinya, bila ruh sudah tidak mengisi relung jiwa, maka jasad ini bagaikan seonggok daging yang tak berdaya. Ruh bukan hanya berada di jantung, melainkan seluruh tubuh. Kalaulah bagian tubuh kita tersayat sedikit, maka sebanyak itulah ruh diangkat di dalam tubuh. Namun bila ruh tersebut pergi meninggalkan jasad ini, maka berdiripun tak kuasa, mata terpejam dan tubuh hanya terbujur kaku.

Dunia ini hanyalah sementara, tempat persinggahan yang seakan tidak bernilai. Lantas berapakah harga dunia? berapakah nikmat yang diberikan kepada kita selama persinggahan? Tidak lain hanyalah seperti kita meletakkan satu jari kedalam lautan, lalu kita angkat jari tersebut. Maka seberapa banyak yang bisa kita angkat? Setetes, dua tetes, tiga tetes, maka sebanyak itulah kenikmatan yang diberikan oleh dunia. sedangkan yang kita tinggalkan! Masya Allah, selautan. Lantas hari ini banyak dari kita yang terpedaya, dan lupa menjalani dunia seolah-olah hidup selama-lamanya, hingga kita pun lupa tuk kembali pulang ke kampung halaman. Maka Rasulullah pun berkata dan mengumpamakan dunia,

“Kehidupan dunia adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi seorang kafir” 
(HR. Muslim)

Sehingga seorang mukmin tidak akan pernah bertah, ia selalu rindu dengan kampung halaman, ia tidak bisa tidur nyenyak, makan pun tak enak. Lantas inilah yang membuat Abu Bakar berdo’a kepada Allah :

“Ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami “
Abu Bakar ash-Shiddiq


sumber dari: belajarnulisideologis.wordpress.com

No comments:

Post a Comment