Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peranan yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan habis, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peranan yang sebenarnya.
Sebagus-bagusnya peranan yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peranan sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperanan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peranan-peranan itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peranan. Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fiqah Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahad kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.
Lalu, masih layakkah kita mengataskan kejayaan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta yang kita miliki. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya sementara. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peranan usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peranan yang pernah kita mainkan.
Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahawa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.
Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia sedar bahawa segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari kitaran hidupan: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan bersungguh-sungguh. Petani itu khuatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.
Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia”
dengan menyebut, Ad-Dun-ya mazraatul akhirah. (Dunia adalah ladang buat akhirat)
Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, bererti kita sedang menghargai erti kehidupan.
Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!
No comments:
Post a Comment