Pages

Thursday 11 August 2011

marhaban ya ramadhan

Assalammualaikum.......
Seorang teman mengirimkan artikel yang boleh kita kongsi bersama...
Selamat membaca....

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban"  diartikan
sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang
berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan  yang
juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun    keduanya    berarti    "selamat   datang"   tetapi
penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan  ahlan  wa
sahlan  untuk  menyambut  datangnya  bulan Ramadhan, melainkan
"marhaban ya Ramadhan".

Ahlan  terambil  dari  kata  ahl  yang   berarti   "keluarga",
sedangkan  sahlan  berasal  dari kata sahl yang berarti mudah.
Juga berarti "dataran  rendah"  karena  mudah  dilalui,  tidak
seperti  "jalan  mendaki".  Ahlan  wa  sahlan, adalah ungkapan
selamat datang,  yang  dicelahnya  terdapat  kalimat  tersirat
yaitu,  "(Anda  berada  di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1
kaki di) dataran rendah yang mudah."

Marhaban terambil dari kata  rahb  yang  berarti  "luas"  atau
"lapang",  sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut
dan diterima  dengan  dada  lapang,  penuh  kegembiraan  serta
dipersiapkan  baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja
yang  diinginkannya.  Dari  akar   kata   yang   sama   dengan
"marhaban",  terbentuk  kata  rahbat  yang antara lain berarti
"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau
kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya
Ramadhan berarti "Selamat  datang  Ramadhan"  mengandung  arti
bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;
tidak   dengan   menggerutu   dan   menganggap    kehadirannya
"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban  ya  Ramadhan,  kita  ucapkan  untuk  bulan suci itu,
karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh
guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,
itulah nafsu. Di gunung itu ada  lereng  yang  curam,  belukar
yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis
yang merayu,  agar  perjalanan  tidak  melanjutkan.  Bertambah
tinggi  gunung  didaki,  bertambah  hebat  ancaman dan rayuan,
semakin curam dan ganas pula perjalanan.  Tetapi,  bila  tekad
tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan
saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu  jalan,  tampak
tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih
untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan  akan
ditemukan  kendaraan  Ar-Rahman  untuk  mengantar sang musafir
bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt.  Demikian  kurang  lebih
perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.

Tentu  kita  perlu  mempersiapkan  bekal guna menelusuri jalan
itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang
harus  kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk
memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan  malam  Ramadhan
dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada
Allah melalui  pengabdian  untuk  agama,  bangsa  dan  negara.
Semoga  kita  berhasil,  dan untuk itu mari kita buka lembaran
Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.

PUASA MENURUT AL-QURAN

Al-Quran  menggunakan  kata  shiyam  sebanyak  delapan   kali,
kesemuanya  dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.
Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum,  tetapi  maknanya
adalah menahan diri untuk tidak bebicara:

     Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari
     ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
     pun (QS Maryam [19]: 26).

Demikian ucapan  Maryam  a.s.  yang  diajarkan  oleh  malaikat
Jibril   ketika  ada  yang  mempertanyakan  tentang  kelahiran
anaknya (Isa  a.s.).  Kata  ini  juga  terdapat  masing-masing
sekali  dalam  bentuk  perintah  berpuasa  di  bulan Ramadhan,
sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa
adalah   baik   untuk   kamu",   dan  sekali  menunjuk  kepada
pelaku-pelaku  puasa  pria  dan  wanita,   yaitu   ash-shaimin
wash-shaimat.

Kata-kata  yang  beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari
akar kata yang sama yakni  sha-wa-ma  yang  dari  segi  bahasa
maknanya  berkisar  pada  "menahan"  dan "berhenti atau "tidak
bergerak". Kuda yang berhenti berjalan  dinamai  faras  shaim.
Manusia  yang  berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa
pun  aktivitas  itu--  dinamai  shaim  (berpuasa).  Pengertian
kebahasaan  ini,  dipersempit  maknanya  oleh  hukum  syariat,
sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,
minum,  dan  upaya  mengeluarkan  sperma  dari terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari".

Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan  tujuan  puasa,  menambahkan
kegiatan  yang  harus  dibatasi  selama  melakukan  puasa. Ini
mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan
pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya
adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula  puasa
dipersamakan  dengan  sikap  sabar,  baik dari segi pengertian
bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran
dan puasa.

Hadis   qudsi   yang  menyatakan  antara  lain  bahwa,  "Puasa
untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan  oleh
banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.

     Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
     disempurnakan pahalanya tanpa batas.

Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.

Ada  beberapa  macam  puasa  dalam  pengertian   syariat/hukum
sebagaimana disinggung di atas.

     1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.
    
     2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
        semacamnya.
    
     3. Puasa sunnah.

Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal  yang  berkisar
pada puasa bulan Ramadhan.

PUASA RAMADHAN

Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam  surat
Al-Baqarah  (2):  183,  184,  185,  dan 187. Ini berarti bahwa
puasa Ramadhan baru  diwajibkan  setelah  Nabi  Saw.  tiba  di
Madinah,  karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah
turun di Madinah. Para sejarawan  menyatakan  bahwa  kewajiban
melaksanakan  puasa  Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban
tahun kedua Hijrah.

Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran  selama
sebutan  penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran
yang   seringkali   melakukan   penahapan   dalam    perintah-
perintahnya,   maka   agaknya  kewajiban  berpuasa  pun  dapat
dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman  ma'dudat
(beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai
tiga  hari  dalam  sebutan  yang  merupakan  tahap  awal  dari
kewajiban  berpuasa.  Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang
dengan turunnya ayat 185:

     Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri
     tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka
     hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa
     yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya
     berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Pemahaman semacam  ini  menjadikan  ayat-ayat  puasa  Ramadhan
terputus-putus  tidak  menjadi  satu  kesatuan. Merujuk kepada
ketiga ayat puasa  Ramadhan  sebagai  satu  kesatuan,  penulis
lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa
Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil
bahwa   Nabi  dan  sahabatnya  telah  melakukan  puasa  sunnah
sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari  Al-Quran,  apalagi
tidak  ditemukan  satu  ayat  pun yang berbicara tentang puasa
sunnah tertentu.

Uraian Al-Quran tentang kewajiban  puasa  di  bulan  Ramadhan,
dimulai  dengan  satu  pendahuluan  yang  mendorong umat islam
untuk melaksanakannya dengan  baik,  tanpa  sedikit  kekesalan
pun.

Perhatikan  surat  Al-Baqarah  (2):  185.  ia  dimulai  dengan
panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang  beriman,  diwajibkan
kepada  kamu  berpuasa."  Di  sini tidak dijelaskan siapa yang
mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa  itu,
tetapi   terlebih   dahulu   dikemukakan  bahwa,  "sebagaimana
diwajibkan terhadap umat-umat sebelum  kamu."  Jika  demikian,
maka  wajar  pula  jika  umat  Islam  melaksanakannya, apalagi
tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan  yang  berpuasa
sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."

Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186  menjelaskan
bahwa  kewajiban  itu  bukannya  sepanjang tahun, tetapi hanya
"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan  bagi  yang
berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan
sehat, sehingga "barangsiapa  sakit  atau  dalam  perjalanan,"
maka  dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia
tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari  yang  lain.
"Sedang  yang  merasa  sangat  berat  berpuasa,  maka (sebagai
gantinya) dia  harus  membayar  fidyah,  yaitu  memberi  makan
seorang  miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan
bahwa "berpuasa adalah baik."

Setelah itu disusul  dengan  penjelasan  tentang  keistimewaan
bulan  Ramadhan,  dan  dari  sini  datang  perintah-Nya  untuk
berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan  bahwa
orang  yang  sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa
dengan  memberikan  penegasan  mengenai   peraturan   berpuasa
sebagaimana  disebut  sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa
Ramadhan ditutup dengan  "Allah  menghendaki  kemudahdn  untuk
kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir
dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa,  tetapi
tentang  doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya
dalam uraian Al-Quran tentang puasa  tentu  mempunyai  rahasia
tersendiri.  Agaknya  ia  mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an
Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan,  dan  karena
itu   ayat  tersebut  menegaskan  bahwa  "Allah  dekat  kepada
hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."

Selanjutnya ayat 187 antara  lain  menyangkut  izin  melakukan
hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang
lamanya puasa yang  harus  dikerjakan,  yakni  dari  terbitnya
fajar sampai terbenamnya matahari.

Banyak   informasi   dan  tuntunan  yang  dapat  ditarik  dari
ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan  puasa.
Berikut  akan  dikemukan  sekelumit baik yang berkaitan dengan
hukum  maupun  hikmahnya,  dengan  menggarisbawahi  kata  atau
kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.

BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA

a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu
   yang menderita sakit)

Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa
secara garis besar dapat dibagi dua:

  1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia
     wajib berbuka; dan
    
  2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat
     kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia
     dianjurkan tidak berpuasa.

Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita
oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu
Sirin, pernah ditemui makan  di  siang  hari  bukan  Ramadhan,
dengan  alasan  jari  telunjuknya  sakit.  Betapa  pun,  harus
dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks  ayat
mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya
kita dapat berkata bahwa Allah Swt.  sengaja  memilih  redaksi
demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing
untuk menentukan sendiri apakah ia  berpuasa  atau  tidak.  Di
sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan
alasan sakit atau dalam perjalanan  tetap  harus  menggantikan
hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.

b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)

Ulama-ulama berbeda pendapat tentang  bolehnya  berbuka  puasa
bagi  orang  yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan
dengan jarak perjalanan. Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa
jarak  perjalanan  tersebut  sekitar  90 kilometer, tetapi ada
juga yang tidak menetapkan jarak tertentu,  sehingga  seberapa
pun  jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,
maka  hal  itu  merupakan  izin  untuk  memperoleh   kemudahan
(rukhshah).

Perbedaan  lain  berkaitan  dengan  'illat  (sebab)  izin ini.
Apakah karena  adanya  unsur  safar  (perjalanan)  atau  unsur
keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya
jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang
dari  satu  jam,  serta  tidak  meletihkan,  apakah  ini dapat
dijadikan alasan untuk berbuka atau  meng-qashar  shalat  atau
tidak.  Ini  antara  lain berpulang kepada tinjauan sebab izin
ini.

Selanjutnya mereka  juga  memperselisihkan  tujuan  perjalanan
yang  membolehkan  berbuka  (demikian juga qashar dan menjamak
shalat). Apakah  perjalanan  tersebut  harus  bertujuan  dalam
kerangka  ketaatan  kepada  Allah,  misalnya  perjalanan haji,
silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan
mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya
alasan yang memasukkan hal-hal  di  atas  sebagai  membolehkan
berbuka,  lebih  kuat,  kecuali jika perjalanan tersebut untuk
perbuatan  maksiat,  maka  tentu   yang   bersangkutan   tidak
memperoleh  izin  untuk  berbuka  dan atau menjamak shalatnya.
Bagaimana  mungkin  orang  yang  durhaka   memperoleh   rahmat
kemudahan dari Allah Swt.?

Juga  diperselisihkan  apakah  yang  lebih  utama bagi seorang
musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik  dan  imam  Syafi'i
menilai  bahwa  berpuasa  lebih utama dan lebih baik bagi yang
mampu,  tetapi  sebagian  besar  ulama  bermazhab  Maliki  dan
Syafi'i  menilai  bahwa  hal  ini  sebaiknya diserahkan kepada
masing-masing pribadi, dalam arti  apa  pun  pilihannya,  maka
itulah  yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh
sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui  Anas  bin
Malik  yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di
bulan Ramadhan, ada  yang  berpuasa  dan  adapula  yang  tidak
berpuasa.  Nabi  tidak  mencela  yang berpuasa, dan tidak juga
(mereka) yang tidak berpuasa."

Memang ada juga ulama yang beranggapan  bahwa  berpuasa  lebih
baik  bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang
menilai bahwa berbuka lebih baik  dengan  alasan,  ini  adalah
izin  Allah.  Tidak  baik  menolak  izin dan seperti penegasan
Al-Quran  sendiri  dalam  konteks  puasa,  "Allah  menghendaki
kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."

Bahkan  ulama-ulama  Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka,
antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat  di  atas,
yaitu:

c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang
   ditinggalkan itu pada hari-hari lain).

Ulama  keempat  mazhab  Sunnah   menyisipkan   kalimat   untuk
meluruskan  redaksi  di  atas,  sehingga  terjemahannya  lebih
kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan
(dan   ia  tidak  berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa)
sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada  hari-hari  yang
lain."

Kalimat  "lalu  ia  tidak  berpuasa"  adalah sisipan yang oleh
ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak  hadis  yang
membolehkan  berpuasa  dalam  perjalanan,  sehingga  kewajiban
mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir  dan  orang
yang sakit tetapi tidak berpuasa.

Sisipan  semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah,
sehingga dengan demikian --buat mereka--  menjadi  wajib  bagi
orang  yang  sakit  dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,
dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang  lain  seperti
bunyi harfiah ayat di atas.

Apakah    membayar   puasa   yang   ditinggalkan   itu   harus
berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang
menyatakan  demikian.  Tetapi  ada riwayat lain melalui Aisyah
r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata  pada
ayat   puasa   yang   berbunyi   mutatabi'at,  yang  maksudnya
memerintahkan  penggantian  (qadha')   itu   harus   dilakukan
bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah
yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min
ayyamin   ukhar   mutatabi'at   yang   berarti   berurut  atau
bersinambung itu, kemudian dihapus oleh  Allah  Swt.  Sehingga
akhirnya  ayat  tersebut  tanpa  kata  ini,  sebagaimana  yang
tercantum dalam Mushaf sekarang.

Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti
harus   dilakukannya   pada   awal   Syawal,   ataukah   dapat
ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut?  Hanya
segelintir  kecil  ulama  yang  mengharuskan sesegera mungkin,
namun umumnya tidak  mengharuskan  ketergesaan  itu,  walaupun
diakui  bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau
Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak  sempat
menggantinya,  apakah  ada  kaffarat akibat keterlambatan itu?
Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa  di  samping
berpuasa,  ia  harus  membayar  kaffarat  berupa memberi makan
seorang miskin; sedangkan imam Abu  Hanifah  tidak  mewajibkan
kaffarat  dengan  alasan  tidak  dicakup  oleh redaksi ayat di
atas.

No comments:

Post a Comment