selamat membaca
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama
tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt.
memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa
atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat
bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,
yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:
musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka
ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,
yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena
kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka
diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas
ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang
orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang
sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia
tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya
terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan
diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam
pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan
atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan
mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka
khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui.
Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka
berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus
membayar fidyah.
Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari
selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak
setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum
atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud
yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang
mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku
pada setiap masyarakat.
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan
bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:
187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari
bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian
hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa
pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau
pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa
hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat
menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium
istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun
selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka
puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar
kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang
hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi
adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka
ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus
mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi
sebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu
yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada
waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan
dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga
melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal
mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan
itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di
atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan
persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat
dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu
mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan
azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut
saat imsak.
No comments:
Post a Comment