Perceraian menjadi fenomena yang besar dalam beberapa kurun waktu ini. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), kurun 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia terjadi peningkatan. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir.
Fenomena masuknya perkara perceraian ke Pengadilan Agama memang meningkat. Dalam 5 tahun terakhir peningkatan perkara yang masuk bisa mencapai 81%. Di satu sisi, itu adalah bentuk kesadaran hukum masyarakat. Namun, di sisi lain, kesadaran hukum tersebut harus dibina agar masyarakat lebih memperbaiki kehidupan pernikahan.
Perceraian memberikan konsekuensi yang tidak ringan. Selain menjadikan seorang istri menjadi janda dan suami menjadi duda, lebih jauh lagi hal tersebut berpengaruh sekali terhadap kondisi psikologis anak. Belum lagi ketika anak diharuskan mengambil keputusan harus memilih tinggal bersama siapa, ayah atau ibu? Kondisi ini tidak mudah dihadapi oleh seorang anak. Anak akan mengalami kebingungan, kelabilan secara emosional dan memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang tua atau bahkan menyalahkan dirinya sendiri.
Faktor yang melatarbelakangi broken home, seperti orang tua yang sibuk, yang mana hal ini juga berkaitan erat dengan faktor ekonomi sebuah keluarga, sehingga tidak ada waktu lagi untuk memperhatikan, berdialog, sharing, atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Orang tua sibuk dengan pekerjaannya, anak sudah tertidur dengan lelapnya dan saat anak terbangun tidak jarang orang tua sudah pergi bekerja atau anaknya sudah harus pergi ke sekolah.
Dan ironisnya, bukan hanya ayah yang memiliki mobilitas tinggi karena tuntutan pekerjaan tetapi juga ibu menjadi ikut-ikutan memiliki hal yang sama dengan dalih ingin membantu perekonomian keluarga atau ingin mengejar karir. Bila dalam sehari ibu hanya punya waktu paling banyak 2 – 3 jam bertemu dengan anak. Anak lebih dekat dengan pengasuh atau pembantunya. Apalagi dalam hal informasi, anak-anak disuguhi dengan materi-materi televisi yang kurang atau bahkan tidak lagi memperhatikan aspek negatif pada anak-anak.
Pada faktanya televisi tidak mampu menjadi orang tua yang baik, karena acara-acara yang ditayangkan tidak semuanya baik. Seorang ibu yang tidak memperhatikan apa yang terjadi pada diri anak, atau dalam hal ini tidak menjalin interaksi dengan anak, akan sulit mengontrol informasi-informasi yang masuk pada diri anak. Kurangnya interaksi orang tua dengan anak ini juga menyebabkan anak kehilangan peran orang tua. Hal lain yang merupakan akibat dari kurangnya interaksi orang tua dengan anak adalah kurangnya pengetahuan dan perhatian terhadap hak-hak anak. Akhirnya kebutuhan anak dalam arti hak-hak mereka tidak terpenuhi.
Dampak lain dari keegoisan dan kesibukan orang tua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter; mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.
Anak kerap kali protes dan mengeluh, namun orang tua hanya cukup memberikan pengertian bahwa ayah dan ibu bekerja untuk kepentingan anak dan keluarga. Orang tua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti keinginan anaknya, tanpa mereka sadari bahwa orang tualah yang menuntut anak harus mengerti dan menerima keadaan orang tua atau keluarganya. Tidak dapat dipungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup.
Fenomena broken home ini memang tidak dapat dianggap sepele atau bukan untuk diabaikan dan dibiarkan berlalu begitu saja.
Broken home dapat mengakibatkan, antara lain:
1. Psychological disorder (Gangguan Psikologis).
Tidak dapat dipungkiri bahwa anak broken home akan mengalami gangguan secara psikologis. Meskipun kebutuhan fisiologi terpenuhi dengan baik, anak tidak akan berkembang dengan baik ketikan kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi. Anak broken home memiliki kecenderungan agresif, introvert, menolak untuk berkomitmen, labil, tempramen, emosional, sensitif, apatis, dan lain-lain.
2. Academic problem (masalah akademik).
Faktor motivasi eksternal terbesar untuk anak adalah keluarga. Dan ketika keluarga mengalami disfungsional maka anak broken home akan cenderung menjadi pemalas dan memiliki motivasi berprestas yang rendah. Hal ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aji Baroto. Pengambilan data dilakukan dengan studi dokumentasi terhadap buku pribadi siswa dan penyebaran angket untuk mengungkap motivasi belajar siswa. Pengolahan data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyeleksian data, penyekoran serta analisis dengan cara mengelompokkan data dan menggunakan teknik uji t perbedaan dua rata-rata yang menghasilkan kesimpulan bahwa :
a. Terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa berasal dari keluarga broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh.
b. Motivasi belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi belajar siswa dari keluarga utuh.
c. Keadaan keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi belajar siswa.
3. Behavioral problem (perilaku menyimpang).
Anak broken home adalah anak yang memang kurang perhatian. Akibatnya anak memiliki self esteem dan self confident rendah, konsep dirinya pun negatif. Begitu di luar (rumah), anak semacam over kompensasi, mencari pengakuan dan penghargaan diri dari lingkungan sekitarnya, sehingga anak broken home memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku-perilaku menyimpang seperti bullying, memberontak, bersikap apatis terhadap lingkungan, bersikap destruktif terhadap diri dan lingkungannya, misalnya dengan mulai merokok, minum minuman keras, judi, free sex(seks bebas). Mereka melakukan penyimpangan-penyimpangan tersebut tanpa pernah tahu apa yang baik dan yang buruk. Persis seperti seorang anak yang menangis dan butuh pelukan ibunya, tapi dia tidak mendapatkannya, oleh karena itu anak broken home akan berterimakasih kepada siapapun yang mau memeluknya, dan kadang wujud si ibu itu adalah ‘narkoba’ dan ’seks bebas’.
Untuk menyikapi fenomena broken home, terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh, diantaranya:
1. Orang tua melakukan tindakan preventif, yaitu dengan:
a. Memberikan pemahaman
b. Memberikan kasih sayang dari kedua orang tua serta pengawasan dan perlindungan terhadap anak
c. Menjaga keintiman keluarga.
d. Memberikan pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.
e. Secara rutin melakukan rekreasi bersama untuk kebutuhan jiwa anak.
f. Melakukan pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
2. Orang tua melakukan tindakan represif, yaitu dengan:
a. Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kesalahan yang telah diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan
b. Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya.
c. Meminta bantuan para ahli (psikolog atau konselor) di dalam mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu.
d. Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.
e. memberikan ruang dan waktu antara anak dengan pasangan untuk tetap berkomunikasi dan bertemu, agar tidak ada perasaan kehilangan jika terjadi perpisahaan.
Perceraian bukan jalan yang terbaik, jika terjadi perceraian tetap bijaksana dalam menyikapi kondisi psikis yang akan dihadapi oleh anak.
Anak adalah aset yang berharga, generasi penerus bangsa yang memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
sumber dari: pondokeluarga.blogspot.com
No comments:
Post a Comment